Etika dalam bahasa Yunani
Kuno ialah ethikos yang memiliki arti timbul dari kebiasaan. Sebuah sesuatu
dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas
yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis
dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St.
John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat
praktis (practical philosophy).
Pengertian etika secara
umum adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia
sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat
suatu kesadaran yang kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka
ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan.
Etika memiliki terbagi menjadi 2 jenis, yaitu
etika filosofis dan etika teologis. Berikut ini merupakan penjelasan dari kedua
jenis etika tersebut:
1.
Etika filosofis
Etika dikenal sebagai suatu cabang filsafat. Etika
merupakan suatu ilmu namun ketika etika dijadikan sebagai filsafat, ia tidak
merupakan suatu ilmu empiris. Dikatakan demikian karena filsafat tidak hanya
membatasi diri dengan semua hal yang bersifat empiris (pengalaman inderawi) dan
yang konkret. Bahkan lebih dari itu, ia berbicara melampaui segala kekonkretan
yang ada. Pemikirannya selalu bersifat non-empiris. Itulah yang menjadi ciri
khas dari filsafat. Ciri ini juga tampak jelas pada etika. Etika tidak hanya
membatasi diri pada segala sesuatu yang konkret, pada semua hal nyata yang
dilakukan. Ia menekankan tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,
tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Dapat disimpulkan bahwa ketika
etika disebut juga sebagai suatu cabang filsafat atau bisa dikatakan etika
filsafat atau etika filosofi, ia berbicara tentang segala sesuatu “yang ada”
sekaligus menilai mana “yang harus dilakukan dan yang tidak” dan berhubungan
langsung dengan perilaku manusia. Karena itu ia disebut juga “filsafat
praktis”. Di dalam etika filosofis juga terdapat sebuah analisa mengenai makna
apakah yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan. Analisa ini dilakukan
dengan cara menyelidiki penggunaan istilah-istilah yang dikandung
pernyataan-pernyataan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu manusia
dapat hidup yang lebih baik serta berbuat yang betul tergantung oleh susila
manusia itu sendiri. Karena masalah-masalah yang paling utama dalam kehidupan
manusia bersangkutan dengan kesusilaan.
2.
Etika teologis
Etika pertama kali ada mulai sejak abad pertama, namun
etika terebut tidak secara khusus dipelajari. Namun seiring berjalannya waktu,
pokok-pokok etikapun dibuat. Tokoh-tokoh yang mulai memberikan pemikiran pada
pembuatan pokok-pokok itu seperti; Tertullianus yang menulis tentang hal-hal
apa saja yang boleh dilakukan oleh seorang Kristen, Ambrosius yang fokus pada
etika yang mengatur tentang kewajiban-kewajiban para pejabat, dan Agustinus
yang fokus pada etika tertentu yaitu;tentang kesabaran, tentang dusta karena
terpaksa, dan sebagainya.
Kemudian dalam abad pertengahan, hal-hal tentang etika
dibicarakan lagi dalam “Libri poenitentiales” (kitab-kitab mengenai pengakuan
dosa) Di masa reformasi, ketiga tokoh reformator (Luther, Calvin, dan Zwingi)
juga memberikan suaranya mengenai etika politik dan etika jabatan. Selain tokoh
reformator, ada juga Schleiermacher yang baginya etika mencoba menerangkan
tentang kehidupan orang-orang beriman. Di abad ke-19 dan awal 20, banyak orang
yang mengikutinya. Berbeda dengan Kuyper yang menurutnya etiak itu termasuk
golongan dogmatika dan dapat diuraikan secara khusus. Dan pendirian ini
dipertahankan oleh Prof. Dr. W. Geesink dan Prof. Karl Bath.
Bertolak dari sejarah yang diuraikan, dapat
disimpulkan bahwa etika teologis adalah sebuah etika yang bertolak dari
praanggapan-praanggapan tentang Allah/ilahi. Sehingga, secara singkat dapat
dikatakan bahwa etika teologis adalah sebuah etika yang didasarkan atas
unsur-unsur agama. Berbeda dengan etika flosofis, etika teologis memiliki sifat
transempiris yaitu pengalaman manusia dengan Allah yang melampaui kesusilaan
tidak dapat diamati manusia dengan pancainderanya. Karena etika teologis
berhubungan dengan yang ilahi, maka sumber utama yang dijadikan bagi etika ini
ialah Alkitab dan alat bantu lainnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar