Senin, 28 Maret 2016

etika


Etika dalam bahasa Yunani Kuno ialah ethikos yang memiliki arti timbul dari kebiasaan. Sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).

Pengertian etika secara umum adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan.

  Etika memiliki terbagi menjadi 2 jenis, yaitu etika filosofis dan etika teologis. Berikut ini merupakan penjelasan dari kedua jenis etika tersebut:

1.                       Etika filosofis

Etika dikenal sebagai suatu cabang filsafat. Etika merupakan suatu ilmu namun ketika etika dijadikan sebagai filsafat, ia tidak merupakan suatu ilmu empiris. Dikatakan demikian karena filsafat tidak hanya membatasi diri dengan semua hal yang bersifat empiris (pengalaman inderawi) dan yang konkret. Bahkan lebih dari itu, ia berbicara melampaui segala kekonkretan yang ada. Pemikirannya selalu bersifat non-empiris. Itulah yang menjadi ciri khas dari filsafat. Ciri ini juga tampak jelas pada etika. Etika tidak hanya membatasi diri pada segala sesuatu yang konkret, pada semua hal nyata yang dilakukan. Ia menekankan tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Dapat disimpulkan bahwa ketika etika disebut juga sebagai suatu cabang filsafat atau bisa dikatakan etika filsafat atau etika filosofi, ia berbicara tentang segala sesuatu “yang ada” sekaligus menilai mana “yang harus dilakukan dan yang tidak” dan berhubungan langsung dengan perilaku manusia. Karena itu ia disebut juga “filsafat praktis”. Di dalam etika filosofis juga terdapat sebuah analisa mengenai makna apakah yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan. Analisa ini dilakukan dengan cara menyelidiki penggunaan istilah-istilah yang dikandung pernyataan-pernyataan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu manusia dapat hidup yang lebih baik serta berbuat yang betul tergantung oleh susila manusia itu sendiri. Karena masalah-masalah yang paling utama dalam kehidupan manusia bersangkutan dengan kesusilaan.

2.                  Etika teologis

Etika pertama kali ada mulai sejak abad pertama, namun etika terebut tidak secara khusus dipelajari. Namun seiring berjalannya waktu, pokok-pokok etikapun dibuat. Tokoh-tokoh yang mulai memberikan pemikiran pada pembuatan pokok-pokok itu seperti; Tertullianus yang menulis tentang hal-hal apa saja yang boleh dilakukan oleh seorang Kristen, Ambrosius yang fokus pada etika yang mengatur tentang kewajiban-kewajiban para pejabat, dan Agustinus yang fokus pada etika tertentu yaitu;tentang kesabaran, tentang dusta karena terpaksa, dan sebagainya.

Kemudian dalam abad pertengahan, hal-hal tentang etika dibicarakan lagi dalam “Libri poenitentiales” (kitab-kitab mengenai pengakuan dosa) Di masa reformasi, ketiga tokoh reformator (Luther, Calvin, dan Zwingi) juga memberikan suaranya mengenai etika politik dan etika jabatan. Selain tokoh reformator, ada juga Schleiermacher yang baginya etika mencoba menerangkan tentang kehidupan orang-orang beriman. Di abad ke-19 dan awal 20, banyak orang yang mengikutinya. Berbeda dengan Kuyper yang menurutnya etiak itu termasuk golongan dogmatika dan dapat diuraikan secara khusus. Dan pendirian ini dipertahankan oleh Prof. Dr. W. Geesink dan Prof. Karl Bath.

Bertolak dari sejarah yang diuraikan, dapat disimpulkan bahwa etika teologis adalah sebuah etika yang bertolak dari praanggapan-praanggapan tentang Allah/ilahi. Sehingga, secara singkat dapat dikatakan bahwa etika teologis adalah sebuah etika yang didasarkan atas unsur-unsur agama. Berbeda dengan etika flosofis, etika teologis memiliki sifat transempiris yaitu pengalaman manusia dengan Allah yang melampaui kesusilaan tidak dapat diamati manusia dengan pancainderanya. Karena etika teologis berhubungan dengan yang ilahi, maka sumber utama yang dijadikan bagi etika ini ialah Alkitab dan alat bantu lainnya.



Sumber :












Tidak ada komentar:

Posting Komentar