Bahasa
Pengertian
bahasa adalah sistem simbol bunyi bermakna dan ber artikulasi (dihasilkan oleh
alat ucap)yang bersifat arbitrer dan konvensional ,yang dipakai sebagai alat
komunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran
Pengertian lain nya bahasa adalah ajang pertemuan berbagai penelitian seperti fenomenologi, linguistik, filsafat bahasa, teologi, psikoanalisis, antropologi budaya, sosiologi, historiografi, ilmu perbandingan agama, dan seterusnya. Lewat tulisan ini, bahasa diletakkan sebagai medium manusia dalam berhubungan dengan dunia luar dirinya seperti alam, makhluk infrahuman, sesama manusia, sekaligus mengonstitusikan hal ihwal di luar dirinya. Bahkan menegaskan bahwa bahasa merupakan media penegas keberadaan manusia itu sendiri.
Pengertian lain nya bahasa adalah ajang pertemuan berbagai penelitian seperti fenomenologi, linguistik, filsafat bahasa, teologi, psikoanalisis, antropologi budaya, sosiologi, historiografi, ilmu perbandingan agama, dan seterusnya. Lewat tulisan ini, bahasa diletakkan sebagai medium manusia dalam berhubungan dengan dunia luar dirinya seperti alam, makhluk infrahuman, sesama manusia, sekaligus mengonstitusikan hal ihwal di luar dirinya. Bahkan menegaskan bahwa bahasa merupakan media penegas keberadaan manusia itu sendiri.
Pengertian bahasa
menurut ahli :
Menurut Syamsudin
1986 :
·
Bahasa
adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan , keinginan , dan
perbuatan-perbuatan ,alat untuk di pakai untuk mempengaruhi atau di pengaruhi
·
Bahasa
adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk ,tanda
yang jelas dari keluarga dan bangsa ,tanda yang jelas dari kemanusian
Guna Bahasa
Langkah
yang paling sukar dalam studi atau pengkajian bahasa adalah langkah awal nya, berulang
kali para sarjana telah mendekati pengkajian bahasa tanpa benar-benar masuk ke
dalam nya,ilmu pengetahuan linguistik muncul dari ke asyikan berfikir yang
relatif praktis seperti penggunaan tulisan,pengkajian kesusastraan dan terutama
dari tulisan-tulisan lama ,serta tuntutan wicara yang anggun tetapi orang dapat
menghabiskan waktu berapa pun lama nya untuk hal-hal tersebut tanpa benar-benar
masuk ke dalam pengkajian bahasa.Karena dalam pengkajian itu sejarah mungkin di
tunda-tunda lagi, kita sebaiknya membicarakan hal ini untuk membedakan nta
dengan pokok persoalan pengkajian kita
Asumsi Strukturalis
Belakangan
ini linguistik kontemporer sangat kuat dipengaruhi pendekatan
struktural. Pendekatan struktural sebagai metode yang otonom boleh
dikatakan bermula dari terbitnya De Saussure,
“Course de Linguistique Generale” di Paris tahun 1916. Salah satu
gagasan De Saussure yang sudah menjadi klasik ialah distingsi langue (bahasa sebagai sistem tanda atau kode) dan parole (bahasa sebagai wacana).
Parole
bersifat individual dan intensional sebab melalui ucapan seorang
pembicara menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain; parole
selalu merupakan peristiwa yang kebetulan dan sewenang-wenang (arbitrary). Langue,
sebaliknya, merupakan struktur kolektif dan anonim, yang relatif stabil
dan merupakan aturan yang mengikat masyarakat bahasa. Akan tetapi
sesudah membuat distingsi ini de Saussure langsung mengambil keputusan
epistemologis dengan memberi prioritas kepada langue.
Pada
mulanya pendekatan struktural dipakai untuk meneliti satuan bahasa yang
lebih kecil dari kalimat, seperti fonem dan morfem. Akan tetapi dengan
cepat sekali meluas dan diterapkan pada bidang lainnya. Pertama, model
ini dipakai untuk meneliti wacana yang lebih luas dari kalimat. Propp misalnya menggunakannya untuk meneliti cerita-cerita rakyat Rusia. F. Braudel dalam penulisan sejarah dan Greimas
dalam penelitian fiksi di Prancis. Kedua, struktural selanjutnya
dipakai untuk meneliti kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya
melampaui studi bahasa yang langsung.
Perluasan
aplikasi model struktural dari fonemik dan morfologi ke bidang
kebudayaan dalam arti luas ini hanya mungkin dibuat dengan asumsi dasar
dari pihak strukturalisme yaitu bahwa wacana dan pelbagai aspek
kebudayaan tersusun menurut satuan bahasa yang lebih kecil dari kalimat.
Justru asumsi inilah yang harus dipertanyakan secara kritis untuk
melihat batas keabsahannya. Dan karena strukturalisme bertolak dari
studi linguistik, kritik terhadap strukturalisme juga harus dimulai dari
bahasa.
Salah satunya dikemukakan linguis bernama Hjelmslev lewat “Prolegomena to a Theory of Language”. Linguis
inilah yang pertama-tama mendefinisikan “struktur” sebagai suatu
kesatuan otonom yang terdiri dari relasi-relasi intern. Teori Hjelmslev dapat disebutkan dalam empat postulat berikut ini;
1) Bahasa adalah objek penelitian sebuah ilmu empiris bernama linguistik.
2) Dalam bidang ilmu bahasa ini kita harus membedakan linguistik sinkronis
(ilmu tentang bahasa sebagai sistem) dan linguistik diakronis (ilmu
tentang bahasa dan perubahannya). Strukturalisme meletakkan linguistik
diakronis di bawah linguistik sinkronis sebab sistem yang stabil lebih
dipahami dari pada perubahan.
3) Di dalam struktur bahasa tidak ada tanda atau kode yang memiliki arti dari
dirinya sendiri. Arti sebuah tanda semata-mata bergantung pada hubungan
timbal balik antara tanda-tanda dalam struktur tersebut. Bahasa adalah
sebuah sistem yang tertutup yang terdiri dari seperangkat unsur-unsur
kecil yang terbatas, misalnya jumlah fonem, morfem, dan kaidah dalam
setiap bahasa niscaya bersifat terbatas.
Karena
bahasa merupakan sebuah sistem tertutup, arti sebuah tanda bahasa tidak
bergantung dari maksud subjektif pembicara ataupun dari referensinya
pada dunia objektif. Artinya bergantung semata-mata dari oposisi antara signifier dan signified.
Dengan kata lain, makna sebuah tanda dalam pengertian strukturalis
adalah nilai diferensialnya. Apabila kita mengikuti postulat
strukturalis secara konsekuen, pada akhirnya bahasa kehilangan statusnya
sebagai wacana dan dengan itu kehilangan referensinya pada subjek dan
pada dunia konkret. Bertolak dari sini beberapa pemikir secara ekstrem
sampai kepada teori tentang the death of subject, pengingkaran manusia sebagai subjek yang bertanggung jawab. Teori bahasa ternyata memiliki dampak yang serius.
Kembali ke wacana
Pendekatan
struktural telah menyumbangkan hasil-hasil penelitian dalam linguistik
dan ilmu sosial, tetapi sebuah teori bahasa yang mengabaikan wacana mau
tak mau akan membawa kita kepada pemahaman yang tidak seimbang mengenai
bahasa dan ia malahan dapat membawa dampak negatif bagi pemahaman kita
tentang eksistensi manusia. Oleh karena itulah dari kalangan linguis
sendiri muncul reaksi membela wacana, tanpa mengabaikan hasil yang telah
dicapai oleh pendekatan struktural. Noam
Chomsky, misalnya, tidak lagi berbicara tentang forma, tetapi
transformasi, bukan tentang struktur, melainkan strukturasi. Teorinya
dikenal dengan nama transformational generative grammar. Disebut generative
karena ia terutama berurusan dengan kreativitas pemakai bahasa:
bagaimana seorang pembicara menghasilkan kalimat-kalimat baru dalam
jumlah yang praktis tak terbatas. Disebut transformational karena ia menunjukkan bagaimana terjadi transformasi antarkomponen semantis (yang disebutnya deep structure) dan komponen fonologis (surface structure).
Seorang linguis lain, Benveniste,
secara tegas membedakan semiotik dan semantik, dengan pengertian bahwa
yang satu tidak bisa disubordinasikan pada yang lain. Semiotik berurusan
dengan bahasa sebagai sistem tanda (langue), sedangkan semantik menyelidiki wacana (discourse). Unsur terkenal wacana adalah kalimat, unsur terkecil langue ialah tanda. Bidang semiotik dan semantik, langue dan discourse, tanda dan kalimat, merupakan dua lapisan bahasa yang tidak bisa direduksikan satu terhadap yang lain.
Sebenarnya
bahasa sebagai sistem tanda hanya bersifat potensial dan abstrak.
Bahasa menjadi aktual dan konkret hanya dalam dan melalui wacana.
Struktur tanpa wacana bersifat mati, wacana tanpa struktur adalah proses
yang kacau dan tak terpahami. Atas dasar ini Ricoeur merumuskan ciri-ciri wacana sebagai berikut:
1. Wacana
adalah dialektik peristiwa dan arti. Peristiwa terjadi hanya sekali dan
tak terulang, sedangkan arti dapat diidentifikasikan dan
direidentifikasikan; ia bisa diulangi, diungkapkan dengan kata lain,
atau diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
2. Kalimat
sebagai unit terkecil wacana, menyampaikan sesuatu tentang sesuatu
melalui gabungan dua fungsi dalam kalimat yang sama: fungsi identifikasi
dan fungsi prediksi.
3. Arti wacana bersifat noetis-noematis. Noetis artinya mengacu pada maksud pembicara. Noematis
berarti menunjuk kepada realitas sebagaimana disarankan oleh ucapan
itu. Memang maksud pembicara dianyatakan di dalam dan melalui arti
ucapan, tetapi antara keduanya bisa terjadi kesenjangan (baik karena
ketaksadaran individual, maupun karena kata atau kalimat bisa memiliki
arti majemuk yang tidak seluruhnya bisa dikontrol oleh maksud eksplisit
pembicara).
4. Wacana bisa dilihat secara subyektif adalah tindakan polivalen seorang pembicara. Dan wacana bisa dilihat secara obyektif, adalah dialektika antara makna dan referensi (sense and reference). Sense adalah arti ideal yang tertera di dalam wacana itu, sedangkan reference adalah realitas yang ditunjukkannya.
Singkatnya
tentang wacana, ada dua simpulan bisa diperoleh sebagai bukti
pertentangan dengan asumsi dasar strukturalisme. Pertama, bahasa
bukanlah sebuah objek, melainkan mediasi. Mediasi antara aku dan dunia
disebut referensi, mediasi antara aku dan sesama disebut komunikasi,
mediasi antara aku dan diriku sendiri disebut pengenalan diri. Secara
lebih tegas lagi: bahasa adalah kondisi eksistensial manusia sebagai
makhluk yang mengada secara sadar dalam dunia (Gadamer,1977: 59-68).
Dengan demikian, aliran pemikiran hermeneutik (seperti Heidegger, Gadamer, Ricoeur) dewasa ini menemukan kembali secara baru definisi manusia yang diberikan Aristoteles: zoon logon echon, yang secara kurang tepat diterjemahkan oleh para pemikir zaman skolastik sebagai animal rationale.
Kedua,
apabila kita melihat bahasa secara utuh sebagai sistem dan proses,
sebagai struktur dan wacana, kita harus mengatakan bahasa adalah
penggunaan yang tak terbatas dari sarana yang terbatas (language is an infinite use of means). Dalam pemahaman bahasa yang demikian kita perlu menggarisbawahi kreativitas manusia.
Dialektika bahasa
Dialektika
bahasa antara sktruktur dan wacana dapat ditunjukkan pada beberapa
lapisan, yaitu pada tingkat kata, kalimat, penafsiran teks. Dalam kaitan
dengan teknik-teknik penyusunan kamus dari tradisi lisan, dapat
ditunjukkan dialektika itu pada tingkat kata. Kata memang “kurang” dalam
kalimat karena tiap kata yang kita jumpai dalam kamus (ataupun dalam
perbendaharaan kolektif lisan kita) hanyalah memiliki arti potensial.
Arti itu baru menjadi aktual dalam wacana ketika seorang pembicara
menggunakannya untuk menyampaikan sesuatu kepada seorang pendengar. Kata
dalam kamus termasuk tatanan semiotis, kata dalam wacana menjadi
komponen semantis.
Dari
lain pihak, kata “melebihi” kalimat. Kalimat sebagai peristiwa ujaran
bersifat sementara, sedangkan kata sebagai kata selalu tersedia untuk
penggunaan baru terus-menerus. Dan karena kata selalu dipakai
terus-menerus dalam konteks baru, kata memiliki sejarah: ia mengalami
sedimentasi dan inovasi arti. Dalam sejarah pemakaian itu kata bisa
mendapat lebih dari satu arti. Dengan demikian, kita sampai kepada
masalah tentang arti majemuk sebuah kata, yang dalam linguistik disebut
polisemi. Dilihat dari linguistik sinkronis, polisemi menunjukkan bahwa
satu kata pada saat tertentu sekaligus memiliki arti majemuk. Akan
tetapi, pendekatan sinkronis (struktural) tidak menjelaskan bagaimana
satu kata dalam sejarah penggunaannya sampai mendapat arti majemuk.
Sebenarnya
kata-kata seperti kaki meja, lengan kursi, bintang film mula-mula
dipakai secara metaforis, tetapi sesudah penggunaannya menjadi lazim dan
diterima umum, arti metaforis itu dibekukan dan masuk ke dalam polisemi
kata kaki, lengan, dan bintang. Tampaklah bahwa antara polisemi dan
metafor yang hidup terdapat suatu hubungan sirkuler: polisemi termasuk
struktur, metafor termasuk proses semantis; pelaziman metafor merupakan
kembalinya proses wacana kepada struktur disusul perluasan polisemi;
polisemi yang diperluas menjadi struktur untuk penggunaan kreatif dalam
metafor baru dan seterusnya.
Kita
bisa bertanya lebih lanjut, bagaimana mungkin kata dengan arti majemuk
dapat berfungsi di dalam pembicaraan sehari-hari dan dalam tulisan tanpa
terlalu banyak menimbulkan kerancuan dan salah paham? Secara umum kita
dapat mengatakan bahwa arti persis sebuah kata bergantung dari saringan
konteks. Yang dimaksudkan dengan “konteks” bukan hanya tempat kata di
dalam wacana, melainkan juga lingkup sosial dan lingkungan hidup yang
turut mewarnai makna sebuah kata. Secara lebih rinci Ricoeur membedakan
tiga macam strategi bahasa dalam hubungan dengan polisemi. Pertama,
bahasa sehari-hari (ordinary language) menggunakan strategi polisemi reduction
(pengurangan polisemi) sehingga pembicara dan pendengar bisa saling
mengerti secara baik. Kata makan misalnya, memiliki banyak arti. Akan
tetapi dari konteks percakapan kita mengerti arti mana yang dimaksudkan
seperti makan nasi, makan uang, makan angin, makan garam, dan makan
hati.
Kedua, bahasa ilmiah secara lebih radikal mau menghilangkan polisemi supaya setiap kata
Sistem dan Struktur Bahasa
dalam pasal di atas telah dinyatakan bahwa bahasa adala sebuah sistem yang memadukan dunia makna dengan dunia bunyi ,bahasa merupakan suatu sistem itu berati bahwa bahasa itu sistemaatis dan sekaligus juga sistemis. Denfgan yang terakkhir ini di maksudkan bahwa bahasa itu terdiri dari beberapa sub sistem , yakni subsistem fonologi,subsistem gramatika dan subsistem leksikon. Dalam ketiga subsistem itulah bertemu dunia bunyi dan dunia makna. Karena meerupakan sistem dtanda berupa bunyi, bahasa membentuk struktur
dan bagi sebagian yang lain linguistik di pelajari sebagai ilmu dasar bagi ilmu-ilmu lain seperti kesusastraan , filologi , pengajaran bahasa, penerjemaahan dan sebagainya, karena dengan mempelajari linguistik lebih mudah orang memahami liku-liku bahasa yang merupakan materi ilmu-ilmu itu
sumber : buku pesona bahasa
buku manajemen bahasa perorganisasian
dalam pasal di atas telah dinyatakan bahwa bahasa adala sebuah sistem yang memadukan dunia makna dengan dunia bunyi ,bahasa merupakan suatu sistem itu berati bahwa bahasa itu sistemaatis dan sekaligus juga sistemis. Denfgan yang terakkhir ini di maksudkan bahwa bahasa itu terdiri dari beberapa sub sistem , yakni subsistem fonologi,subsistem gramatika dan subsistem leksikon. Dalam ketiga subsistem itulah bertemu dunia bunyi dan dunia makna. Karena meerupakan sistem dtanda berupa bunyi, bahasa membentuk struktur
dan bagi sebagian yang lain linguistik di pelajari sebagai ilmu dasar bagi ilmu-ilmu lain seperti kesusastraan , filologi , pengajaran bahasa, penerjemaahan dan sebagainya, karena dengan mempelajari linguistik lebih mudah orang memahami liku-liku bahasa yang merupakan materi ilmu-ilmu itu
sumber : buku pesona bahasa
buku manajemen bahasa perorganisasian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar